Di abad terakhir ini istilah kewirausahaan atau lebih
dikenal sebagai entrepreneurship semakin ramai diminati dan dibicarakan.
Sebenarnya sudah sejak dulu manusia di berbagai belahan dunia memahami peran
wirausahwan dalam perubahan masyarakat. Kewirausahaan secara langsung maupun
tidak memiliki arti penting dalam kehidupan suatu masyarakat atau bangsa adalah
meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi angka pengangguran, dan
memanfaatkan sumber daya ekonomi menjadi lebih produktif, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan membantu terwujudnya pemerataan ekonomi.
Belakangan ini mulai muncul berbagai turunan dari
entrepreneurship, salah satu yang cukup terkenal adalah sosioentrepreneurship
atau kewirausahaan sosial. Sosioentrepreneurship secara singkat dapat diartikan
sebagai entrepreneur berbasis sosial. Berbeda dengan entrepreneurship
konvensional dalam sosioentrepreneurship ini berlaku kedaulatan masyarakat,
intinya usaha yang ada itu berasal dari mereka, untuk mereka, dan oleh mereka
dengan para pelaku sosioentrepreneur sebagai katalis atau pelopor.
Kalau kewirausahaan konvensional mengajak setiap orang
untuk menumpuk keuntungan dan kekayaan materi, maka kewirausahaan sosial
mengajarkan bahwa setiap orang harus peduli dan memberi kontribusi kepada
masyarkat. Bahkan Muhammad Yunus, pemenang Hadiah Nobel 2006 sebagai ikon
kewirausahaan sosial dunia dengan “Grameen Bank”-nya, pernah berkata,
"Ketidakadilan sosial marak di dunia, wirausawahan sosial adalah
jawabannya". Mungkin ada yang menganggap hal tersebut omong kosong, akan
tetapi hal itu dapat ditepis karena yang mengatakannya adalah seorang pelaku
sosioentrepreneruship, lebih-lebih lagi beliau adalah sosioentrepreneruship
yang sukses dan terbukti dapat menjawab ketidakadilan sosial di sekitarnya.
Sosioentrepreunership atau social entrepreneurship
berpotensi menjadi salah satu solusi untuk menggapai kedaulatan pangan di
Indonesia. Ada banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku dan
penggiat sosioentrepreneur di indonesia. Pertama, indonesia sangat kaya dan
beragam dalam hal kearifan lokal. Bisa dibayangkan dari sabang sampai merauke,
terbentang pulau-pulau yang terbagi lagi menjadi 33 propinsi, kemudian 33
propinsi terbagi lagi menjadi ratusan kabupaten, ratusan kabupaten tersebut
terbagi lagi menjadi ribuan kecamatan, dan begitu seterusnya, hingga tingkat
desa. Artinya, banyak sekali potensi-potensi tiap-tiap daerah yang unik, yang
hanya dimiliki oleh satu daerah tapi tidak dimiliki daerah yang lain.
Tidak terasa, sebentar lagi ada momentum yang cukup
besar, yaitu hari pangan dunia pada tanggal 16 Oktober. Selalu menjadi ironi
dari dulu hingga sekarang, bagaimana mungkin Indonesia sebagai negara yang
diberkahi dengan Sumber Daya Alam melimpah, tanah yang subur, dengan
berjuta-juta flora dan fauna bisa hidup dengan baik di Tanah Air ini, di satu
sisi ternyata sangat lemah dalam hal kedaulatan pangannya, tidak perlu
jauh-jauh kedaulatan pangan, bahkan ketahanan pangan saja masih ngos-ngosan.
Sebelumnya sudah disebutkan bahwa potensi dalam negeri
sangat banyak dan menjanjikan. Sebut saja salah satunya dalam hal pangan, untuk
makanan pokok saja ada banyak sekali pangan alternatif selain beras, yang biasa
dikonsumsi di beberapa daerah di berbagai penjuru Indonesia, sebut saja
singkong, sagu, ubi jalar, jagung, dan masih banyak lagi. Begitu juga untuk
buah-buahan, ada apel malang, jeruk bali, salak sleman, dan banyak lagi
buah-buah khas daerah yang berbeda dengan buah sejenis dari daerah lain.
Bukankah itu bukti nyata dari besarnya potensi untuk solusi dalam menjawab
permasalahan pangan?
Untuk berhasil dalam mencapai kedaulatan pangan, petani
dan nelayan memiliki peran yang sangat amat besar. Tapi kenyataan saat ini,
justru petani dan nelayan yang termarjinalkan dalam lingkaran kemiskinan dan
kekurangan. Kedaulatan Pangan hanya angan-angan belaka saja, selama pemerintah
masih menganaktirikan para actor di bidang pangan ini, petani dan nelayan.
Lihat saja sekarang, pemerintah masih fokus pada yang namanya ketahanan pangan
yang tidak mempersoalkan apapun metodenya, yang penting keamanan pangan bisa
dicapai, walaupun dengan impor pangan sana-sini.
Sekarang saatnya hal itu diganti menjadi kedaulatan pangan, dimana akses modal
dan teknologi bagi petani dan nelayan terjamin, juga perlindungan dari impor
yang belakangan sangat menyiksa para petani.
Menteri pertanian, Ir. Suswono pernah menyatakan bahwa
diversifikasi pangan bisa menjadi solusi yang cocok dalam mencapai kedaulatan
pangan di indonesia. Bicara tentang diversifikasi berarti bicara juga tentang
kearifan pangan lokal yang sangat banyak dan beragam di Indonesia ini. Dan yang
bisa menjadi pencetus dan pendorong pemanfaatan dan pengembagan kearifan lokal
ini adalah sosioentrepreneurship.
Ditempat lain, Menteri Sosial, DR. H.
Salim Segaf Al-Jufri, MA, secara resmi menyatakan dukungan dirinya beserta
departemen yang beliau pimpin, yaitu Departemen Sosial, kepada pengembangan
sosioentrepreneurship dalam rangka menjawab berbagai permasalahan masyarakat di
berbagai pelosok negeri. Banyak sekali aktivitas sosioentrepreneur dalam
berbagai bidang dan di berbagai pelosok negeri terbukti dapat menjadi solusi
dari permasalahan masyarakat, bahkan hingga membuat masyarakat di daerah
tersebut semakin aktif dan sejahtera, misalnya di daerah Garut dengan Asgar
Muda-nya atau daerah Bantul dengan Bank Sampah-nya.
Terbukti, inilah waktu yang tepat, waktu
dimana dukungan datang dari banyak pihak, termasuk pemerintah melalui dua departemen
raksasa setingkat Departemen Pertanian dan Departemen Sosial. Ada juga pihak
swasta, LSM-LSM atau Perusahaan-perusahaan dengan program CSR (Corporate Social
Responsibility), atau bahkan dari individu-individu dengan kekuatan finansial
yang tinggi, semuanya siap membantu, tentunya hanya jika mereka bisa diyakinkan
dan di lapangan dapat diterapkan secara optimal. Seperti kata AA Gym
dengan semboyan 3 M-nya, Mulai dari diri sendiri, Mulai dari sekarang, dan
Mulai dari hal yang kecil.
Ditulis oleh : Muhammad H. Mustofa (Teknik
Pertanian 2009)